PRINSIP-PRINSIP AQIDAH
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Oleh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rab semesta alam yang telah menunjuki
kita sekalian kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tidak akan mendapat
petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk. Kita memohon kepada-Nya agar
kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat, sebagaimana
difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam”. (Ali-Imran : 102).
Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan
kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk.
“Artinya : Ya
Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami
hidayah”. (Ali Imran : 8).
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan
kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam
semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu dilimpahkan kepada para sahabatnya yang
shalih dan suci, baik dari kalangan Muhajirin mupun Anshar, serta kepada para
pengikutnya yang setia selama ada waktu malam dan siang.
Wa ba’du : Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan
‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini
diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah. Hal itu
terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah) kontemporer dan
jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam)
kepada golongannya ; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling
baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung
kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama’ah mana dia harus ikut
bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun bingung. Islam
apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya ; yakni ajaran Islam yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar
dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman
hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam
sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang
Islam : “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang
mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang
sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh
karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya
sebagaimana Dia telah berfirman.
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا
لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
“Artinya :
Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka, Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang
tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya
sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ
بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ
عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ
لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ
عَلِيمٌ ٥٤
“Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya
(dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap
orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang
suka mencela …”. (Al-Maaidah : 54).
Dan firman Allah.
هَٰٓأَنتُمۡ
هَٰٓؤُلَآءِ تُدۡعَوۡنَ لِتُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَمِنكُم مَّن
يَبۡخَلُۖ وَمَن يَبۡخَلۡ فَإِنَّمَا يَبۡخَلُ عَن نَّفۡسِهِۦۚ وَٱللَّهُ ٱلۡغَنِيُّ
وَأَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ
ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨
“Artinya : Ingatlah
kamu ini. orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah.
Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia bakhil pada
dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan
jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti ( kamu) dengan kaum selain
kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (Muhammad : 38).
Golongan atau jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya : Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka
senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu
membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang
mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam
Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy).
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal
Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang
diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita
termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada
jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat
mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.
AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH
WAL-JAMA’AH
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّ
هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَأَنَا۠ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُونِ ٩٢
“Artinya :
Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian,
maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun
berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya :
Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah,
supaya mereka bubar”.
Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat
yang sama) :
هُمُ
ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنفِقُواْ عَلَىٰ مَنۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ
يَنفَضُّواْۗ وَلِلَّهِ خَزَآئِنُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ
لَا يَفۡقَهُونَ ٧
“Padahal milik
Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu
tidak memahami”. (Al-Munafiqun :
7).
Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan
memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
وَقَالَت
طَّآئِفَةٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ ءَامِنُواْ بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ عَلَى ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَجۡهَ ٱلنَّهَارِ وَٱكۡفُرُوٓاْ ءَاخِرَهُۥ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
٧٢
“Artinya :
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) :
(pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang
beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya,
mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada
kekafiran”. (Ali Imran :
72).
Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil
karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha
kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan
mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum
datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar
tersebut dalam firman-Nya.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقٗا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ
يَرُدُّوكُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡ كَٰفِرِينَ ١٠٠
“Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang
diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir
sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada firman Allah.
“Artinya : Pada hari
yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).
Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum
Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya
merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan
berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan
demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan.
Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang
perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah
datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).
Dan firman-Nya pula.
“Artinya : Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).
Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada
mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam,
dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam-pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang
mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan
suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih,
yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal
tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya :
Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat
perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan
sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan
Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu
Majah 1/43).
Dan sabdanya pula.
“Artinya : Telah
berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah
kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu.
Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau
menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para
sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam
Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari’ah hal.16dan
Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus
Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah
Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir
generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada
kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya,
kemudian yang datang sesudahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16
hal 86-87 Syarah An-Nawawy).
Perawi hadits ini berkata : “saya tidak tahu apakah Rasulullah
menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama
dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama
tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid
mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut,
sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami
pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum
muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan.
Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun
mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan
penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan
bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang
batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus
berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah.
Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh
dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ;
bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam
hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan
tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas
apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun
keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka
yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani
hari ini” (Telah berlalu
penjelasannya di atas ).
Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari
orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.
فَلَوۡلَا
كَانَ مِنَ ٱلۡقُرُونِ مِن قَبۡلِكُمۡ أُوْلُواْ بَقِيَّةٖ يَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡفَسَادِ
فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا قَلِيلٗا مِّمَّنۡ أَنجَيۡنَا مِنۡهُمۡۗ وَٱتَّبَعَ ٱلَّذِينَ
ظَلَمُواْ مَآ أُتۡرِفُواْ فِيهِ وَكَانُواْ مُجۡرِمِينَ ١١٦
“Artinya : Maka
mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai
keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali
sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara mereka,
dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ;
dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).
NAMA-NAMA AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang
selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula
nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah
kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok
lain. Dan diantara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang
selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut.
1. Bahwasanya kelompok ini adalah
kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok
yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka
kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.(Telah terdahulu
keterangannya)
2. Bahwasanya kelompok ini adalah
kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa
yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik
dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang
berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.(Telah terdahulu
keterangannya)
3. Bahwasanya pemeluk kelompok ini
adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa
dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang
teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk
sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka
berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para
pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada
Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan
yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau
dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada
pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun
perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena
kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari
perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat
untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa
nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan
mereka.
4. Bahwasanya kelompok ini adalah
golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam
menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : “Jika
kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad :
7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
: “Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu
memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa
Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”. (Telah
terdahulu keterangannya).
Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di atas
prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun
perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari
kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut :
Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid
yang tiga serta beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid
rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dantauhid al-asmaa wa -ash-shifaat.
Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah
baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia
itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala
pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah
apabila memang hal itu disyari’atkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’
(harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta
pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti’adzah (meminta
perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja
yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan
apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu
berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari
segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan),
tanpa tasybiih (penyerupaan),tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian),
dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Artinya : Tak ada
sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Asy-Syuro : 11)
Dan firman Allah pula.
“Artinya : Dan
Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya”. (Al-A’raf : 180).
2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu
adalah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah
mencitakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan
perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya : ….Bahkan
malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya
dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (Al-Anbiyaa : 26-27).
“Artinya : Allahlah
yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan
empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”. (Faathir : 1)
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala
kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani
bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak
kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di
antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur’an yang
merupakan mu’jizat yang agung. Allah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (Hai Muhammad) : ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya
walaupun sesama mereka saling bahu membahu”. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa Al-Qur’an itu
adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun
artinya. Berebda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda
pula dengan pendapat Asyaa’irah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa
kalam (firman) Allah hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah
mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil
berdasarkan firman Allah.
“Artinya : Dan jika
ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an)”. (At-Taubah : 6)
“Artinya : Mereka
itu ingin merubah KALAM Allah”. (Al-Fath : 15)
4. Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama
mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup
para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita
secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi
dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya
kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman
kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap
hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang
berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan
memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana
yang difirmankan Allah.
“Artinya : Dan
orang-orang Yahudi berkata : ‘Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani
berkata :’Isa Al-Masih itu anak Allah…”.( At-Taubah : 30)
Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak
sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih
mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis
telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir
terhadap Nabi Isa dan Muhammad ‘alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan
orang-orang Nashara telah kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan orang-orang yang mengimani sebagian- mengingkari sebagian (dari
para rasul Allah), maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah
berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan
bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan
mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian
(yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan diantara
yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang
menghinakan”. (An-Nisaa :
150-151).
Dan Allah juga berfirman.
“Artinya : Kami
tidak mebeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ….”.(Al-Baqarah : 285)
5. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian
dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan
ni’mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang
mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian
buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta
syurga dan neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan
amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat
dari padanya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang
musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak
mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan tuntutan, walau
mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.
“Artinya : Dan
mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali
orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka
……”.(Al-Baqarah : 111).
“Artinya : Dan
mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya
dalam beberapa hari saja”. (Al-Baqarah : 80).
6. Iman kepada taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah
terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ;
dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman,
ta’at, ma’shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan
bahwasanya Allah itu mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan
kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada
keta’atan atau ma’shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak
Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia
terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan
sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan
yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya,
kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan
firman-Nya.
“Artinya : Dan kamu
tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap
hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya
sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan
Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu
seorang hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa
dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk
giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :
bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah
dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya
perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan
keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah
(mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu
merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya : Dan
mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal
hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang
yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya : …….
karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang
dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya : Dan kaum
‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat
tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka
sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang
yang berpandangan tajam”(Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau
perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah
keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk
iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut
nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah
imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada
mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya : Dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin
kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun
perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi
pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku
(dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan
imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia
berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun
si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …”(An-Nisaa : 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di
tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa
besar walau bukan termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa
besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti
suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu
perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan
untuk berbuat kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan
ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib
ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul
serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku
berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan
ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits
‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para sahabatnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada
seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya :
Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan
barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12
hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya
shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka
untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila
mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk
amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat
dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan
Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang
melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang
hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya,
keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut
adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan
dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum
sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika
mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
“Artinya : Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau
jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
“Artinya :
Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang
jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian
menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam
kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz
16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari
kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa
yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada
keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam
silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan sabdanya.
“Artinya :
Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad
4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya
sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh
Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
“Artinya : Wahai
wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan
menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang
sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti
pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya :
Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada
Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah
sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai kaum
Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di
hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat
memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku
tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad,
mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di
hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh
Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai
hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak
boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu
ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah
telah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan
kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas
diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku
mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan
ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang
lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah
suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip Kedelapan
Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan
adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui
tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai
penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut
daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari
sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian
manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan
berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk
karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan
para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas,
Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para
hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa
diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud
untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber
pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan
atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun
bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum
Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti
Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang
mendapat petunjuk”. (Telah
terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan
siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka
dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan
As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini.
Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala
hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah. Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka
jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada
suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam
ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah
memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak
boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara
mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah.
Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka
tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap
shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i
(cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan
menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.
Penutup
Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka,
mereka senantiasa ber-akhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah :
Pertama
Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah
diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut.
“Artinya : Jadilah
kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi
munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110).
“Artinya :
Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya,
dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah
selemah-lemah iman”. (Dikeluarkan oleh
Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang
diwajibkan oleh syari’at. Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar
ma’ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka
berpandangan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin
kaum muslimin apabila mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk
perbuatan kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati
mereka dalam hal kema’shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini
dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan
perselisihan. Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap
pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang
terhapusnya kemunkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).
Kedua.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam
baik dengan menegakkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda
terhadap kalangan ahlul bid’ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan
shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.
Ketiga
Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta
tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Ad-Din
itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan
Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy,
Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
“Artinya : Mu’min
yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain
saling mengokohkan”. (Dikeluarkan
oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat.
Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika
mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan
menerimanya dengan ketentuan Allah.
Kelima
Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik,
berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik
dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong,
dzolim (aniaya) sesuai dengan firman Allah.
“Artinya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (An-Nisaa : 36)
“Artinya :
Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162,
Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan
kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada
kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam
terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya
beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
Sumber : Prinsip-Prinsip ‘Aqidah Ahlus Sunah Wal Jama’ah oelh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan Dar Al-Gasem PO
Box 6373 Riyadh, penerjemah Abu Aasia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !